Welcome

Senin, 04 Mei 2015

Hukum Perdata, Hukum Perikatan, Hukum Perjanjian, Hukum Dagang

Hukum Perdata
Pengertian Hukum Perdata
Hukum perdata adalah salah satu bidang hukum yang paling populer. Hukum perdata merupakan induk dari beberapa bidang ilmu hukum lainnya, seperti hukum dagang, hukum perikatan, hukum perusahaan, dan masih banyak lagi yang lainnya. Bidang-bidang kajian ilmu hukum tersebut menginduk pada hukum perdata yang terutama bersumber pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Dengan demikian, hukum perdata memiliki ranah kajian yang sangat luas terutama bila dibandingkan dengan bidang kajian ilmu hukum lainnya yang menginduk pada hukum perdata itu sendiri.

Alasan adanya Hukum Perdata
Hukum Perdata merupakan induk dari segala hukum. Hukum perdata adalah awal dari lahirnya hukum-hukum lain di Indonesia ini. Hukum perdata ada karena hukum perdata memiliki asas-asanya, yaitu:
1.      Asas kebebasan berkontrak
2.      Asas Konsesualisme,
3.      Asas Kepercayaan,
4.      Asas Kekuatan Mengikat,
5.      Asas Persamaan hukum,
6.      Asas Keseimbangan,
7.      Asas Kepastian Hukum,
8.      Asas Moral Asas PerlindunganAsas Kepatutan,
9.      Asas Kepribadian (Personality),
10.  Asas Itikad Baik (Good Faith)
Asas-asas diatas membentuk Hukum Perdata menjadi induk dari semua hukum di Indonesia. Hukum perdata juga bersumber dari:
1.      BW (KUHPerdata)
2.      Wvk (KUHD)
3.      UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
4.      UU No.4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
5.      UU No. 42 Tahun 1999 tentang Fidusia
6.      UU Perbankan, UU PT, dll.

Macam-Macam Hukum Perdata
1.      Hukum Perkawinan
Pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia. Menurut UU NO.1 Tahun 1974, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan seorang wanita sebagai suami istri yang bertujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Perkawinan dikatakan sah apabila:
-          Dilakukan berdasarkan hukum agamanya dan kepercayaannya.
-          Perkawinan didasarkan atas persetujuan kedua mempelai.
-          Yang laki laki min berumur 19 tahun sedang yang perempuan min berumur 16 tahun.
-          Bagi yang berumur kurang dari 21 tahun harus memiliki izin dari kedua orang tua/wali.
Dalam Hukum Perkawinan juga memiliki aturan , yaitu syarat untuk perkawinan, pembatalan perkawinan, hak dan kewajiban suami istri, pencampuran kekayaan, perjanjian perkawinan, perceraian, pemisahaan kekayaan.

2.      Hukum Waris
Hukum Waris adalah suatu hukum yang mengatur peninggalan harta seseorang yang telah meninggal dunia diberikan kepada yang berhak, seperti keluarga dan masyarakat yang lebih berhak. Hukum Waris yang berlaku di Indonesia ada tiga yakni: Hukum Waris Adat, Hukum Waris Islam dan Hukum Waris Perdata. Setiap daerah memiliki hukum yang berbeda-beda sesuai dengan sistem kekerababatan yang mereka anut.

3.      Hukum Kekeluargaan
Termasuk di dalam hukum perdata yang mengatur perihal hubungan-hubungan hukum yang timbul dari hubungan kekeluargaan, yaitu: perkawinan beserta hubungan dalam lapangan hukum kekayaan antara suami-isteri, hubungan antara orang tua dan anak.  Hukum Kekeluargaan mengatur tentang keturunan, kekuasaan orang tua, perwalian, pendewasaan, curatele, orang hilang.

Hukum Perikatan
Pengertian
Perikatan adalah adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan perikatan.
Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam bidang hukum harta kekayaan (law of property), juga terdapat dalam bidang hukum keluarga (family law), dalam bidang hukum waris (law of succession) serta dalam bidang hukum pribadi(pers onal law).

Dasar Hukum Perikatan
Dasar hukum perikatan berdasarkan KUHP terdapat tiga sumber yaitu:

1.      Perikatan yang timbul dari persetujuan (perjanjian).

2.      Perikatan yang timbul undang-undang. Hal ini tergambar dalam Pasal 1352 KUH Perdata: ”Perikatan yang dilahirkan dari undang-undang, timbul dari undang-undang saja atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang.
a.       Perikatan terjadi karena undang-undang semata yaitu yang ada dalam pasal 104 KUH Perdata mengenai kewajiban alimentasi antara orang tua dan anak dan yang lain dalam pasal 625 KUH Perdata mengenai hukum tetangga yaitu hak dan kewajiban pemilik-pemilik pekarangan yang berdampingan.
b.      Perikatan terjadi karena undang-undang akibat perbuatan manusia 

3.      Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan perwakilan sukarela ( zaakwarneming).

Tentang Perikatan
Dalam Ps 1233 KUHS ditetapkan bahwa Perikatan dilahirkan baik karena UU dan karena Persetujuan.

Perikatan yang timbul karena UU :
1.      Perikatan yang lahir dari UU saja
Alimentasi (Ps 231 KUHS), yaitu kewajiban setiap anak untuk memberikan nafkah hidup kepada orang tuanya dan para keluarga sedarah dalam garis keatas apabila mereka dalam keadaan miskin.
2.      Perikatan yang lahir dari UU karebna perbuatan orang yang diperbolehkan maupun karena perbuatan orang yang melanggar hukum.
Zaakwaarneming (Ps 1354 KUHS) perbuatan orang yang dilakukan dengan sukarela tanpa diminta tanpa disuruh, memelihara kepentingan atau barang orang lain. Maka timbul hubungan hukum antara pemilik barang dengan pemelihara barang.

Perikatan yang timbul karena Persetujuaan atau Perjanjian :
1.      Perikatan alamiah, perikatan yang harus dilaksanakan tetapi tidak disertai dengan sanksi gugatan, kalau debitur tidak memenuhi kewajibannya.
2.      Perikatan karena perbuatan yang melanggar hukum, seperti yang dimaksud dengan Ps 1365 KUHS dan Drukkearrest HR tanggal 31 Januari 1919, yang terdiri dari :
a.       Perbuatan yang melanggar hak orang lain.
b.      Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum dari orang yang bersangkutan.
c.       Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan atau asas-asas pergaulan kemasyarakatan mengenai nama baik atau barang orang lain.

Macam-Macam Ganti Rugi
a.       Kosten, yaitu segala biaya dan ongkos yang sungguh-sungguh telah dikeluarkan oleh korban.
b.      Schade, yaitu kerugian yang diderita oleh si korban sebagai akibat langsung dari perbuatan yang melanggar hukum itu.
c.       Interessen, yaitu bunga uang dari keuntungan yang tidak jadi diterima sebagai akibat langsung dari perbuatan yang melanggar hukum itu.
  
Syarat yang harus dipenuhi untuk menuntut ganti rugi :
a.       Perbuatan atau sikap diam harus melanggar hukum, ada peraturan hukum yang dilanggar oleh perbuatan atau sikap diam dari orang yang bersangkutan.
b.      Harus ada kerugian (Schade) antara perbuatan dan kerugian harus ada hubungan sebab akibat, penggantia kerugian hanya dapat diminta oleh orang yang menderita kerugian dan harus dapat membuktikannya.
Harus ada kesalahan orang atau si pelaku haris dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya dan kesalahan yang dilakukan itu bukanlah keadaan terpaksa, keadaan darurat, kesalahan itu karena kesengajaan dan kelalaian

Asas-Asas Hukum Perikatan
Azas azas hukum perikatan diatur dalam Buku III KUH Perdata, yakni :
1.      Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak terlihat di dalam Pasal 1338 KUHP Perdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
2.      Asas konsensualisme
Asas konsensualisme, artinya bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas. Dengan demikian, azas konsensualisme lazim disimpulkan dalam Pasal 1320 KUHP Perdata.

Hapusnya Perikatan menurut pasal 1381:
1.      Pembayaran
2.      Penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau penitipan
3.      Pembaharuan utang
4.      Perjumpaan utang atau kompensasi
5.      Percampuran utang
6.      Pembebasan utang
7.      Musnahnya barang yang terutang
8.      Kebatalan atau pembatalan
9.      Berlakunya suatu syarat batal
10.  Lewatnya waktu.
Sumber:

Hukum Perjanjian
Pengertian
Dilihat dari pengertian yang terdapat dalam Pasal 1313 KUHPerdata, Perjanjian adalah suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.Pengertian ini mengundang kritik dari banyak ahli hukum, karena menimbulkan penafsiran bahwa perjanjian tersebut yang bersifat sepihak, padahal dalam perjanjian harus terdapat interaksi aktif yang bersifat timbal balik di kedua belah pihak untuk melaksanakan hak dan kewajiban masing-masing. Untuk itu secara sederhana perjanjian dapat dirumuskan sebagai sebuah perbuatan dimana kedua belah pihak sepakat untuk saling mengikatkan diri satu sama lain.
Pengertian perjanjian ini mengandung unsur :
a.       Perbuatan,
Penggunaan kata “Perbuatan” pada perumusan tentang Perjanjian ini lebih tepat jika diganti dengan kata perbuatan hukum atau tindakan hukum, karena perbuatan tersebut membawa akibat hukum bagi para pihak yang memperjanjikan
b.      Satu orang atau lebih terhadap satu orang lain atau lebih, Untuk adanya suatu perjanjian, paling sedikit harus ada dua pihak yang saling berhadap-hadapan dan saling memberikan pernyataan yang cocok/pas satu sama lain. Pihak tersebut adalah orang atau badan hukum.
c.       Mengikatkan dirinya,
Di dalam perjanjian terdapat unsur janji yang diberikan oleh pihak yang satu kepada pihak yang lain. Dalam perjanjian ini orang terikat kepada akibat hukum yang muncul karena kehendaknya sendiri.

Azas-Azas Hukum Perjanjian
Ada beberapa azas yang dapat ditemukan dalam Hukum Perjanjian, namun ada dua diantaranya yang merupakan azas terpenting dan karenanya perlu untuk diketahui, yaitu:
1.      Azas Konsensualitas, yaitu bahwa suatu perjanjian dan perikatan yang timbul telah lahir sejak detik tercapainya kesepakatan, selama para pihak dalam perjanjian tidak menentukan lain. Azas ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata mengenai syarat-syarat sahnya perjanjian.
2.      Azas Kebebasan Berkontrak, yaitu bahwa para pihak dalam suatu perjanjian bebas untuk menentukan materi/isi dari perjanjian sepanjang tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan kepatutan. Azas ini tercermin jelas  dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah mengikat sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Syarat Sahnya Perjanjian
Agar suatu Perjanjian dapat menjadi sah dan mengikat para pihak, perjanjian harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1320 BW yaitu :
1.      Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya:
Kata “sepakat” tidak boleh disebabkan adanya kekhilafan mengenai hakekat barang yang menjadi pokok persetujuan atau kekhilafan mengenai diri pihak lawannya dalam persetujuan yang dibuat terutama mengingat dirinya orang tersebut; adanya paksaan dimana seseorang melakukan perbuatan karena takut ancaman (Pasal 1324 BW); adanya penipuan yang tidak hanya mengenai kebohongan tetapi juga adanya tipu muslihat (Pasal 1328 BW). Terhadap perjanjian yang dibuat atas dasar “sepakat” berdasarkan alasan-alasan tersebut, dapat diajukan pembatalan.
2.      cakap untuk membuat perikatan:
Para pihak mampu membuat suatu perjanjian. Pasal 1330 BW menentukan yang tidak cakap untuk membuat perikatan :
a.       Orang-orang yang belum dewasa
b.      Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan
c.       Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undangundang,
dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu. Namun berdasarkan fatwa Mahkamah Agung, melalui Surat Edaran Mahkamah Agung No.3/1963 tanggal 5 September 1963, orang-orang perempuan tidak lagi digolongkan sebagai yang tidak cakap. Mereka berwenang melakukan perbuatan hukum tanpa bantuan atau izin suaminya. Akibat dari perjanjian yang dibuat oleh pihak yang tidak cakap adalah batal demi hukum (Pasal 1446 BW).
3.      suatu hal tertentu:
Perjanjian harus menentukan jenis objek yang diperjanjikan. Jika tidak, maka perjanjian itu batal demi hukum. Pasal 1332 BW menentukan hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan yang dapat menjadi obyek perjanjian, dan berdasarkan Pasal 1334 BW barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari dapat menjadi obyek perjanjian kecuali jika dilarang oleh undang-undang secara tegas.
4.       suatu sebab atau causa yang halal:
Sahnya causa dari suatu persetujuan ditentukan pada saat perjanjian dibuat. Perjanjian tanpa causa yang halal adalah batal demi hukum, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.

Syarat No.1 dan No.2 disebut dengan Syarat Subyektif, karena mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan  syarat No.3 dan No.4 disebut Syarat Obyektif, karena mengenai obyek dari suatu perjanjian.
Apabila syarat subyektif tidak dapat terpenuhi, maka salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan. Pihak yang dapat meminta pembatalan itu, adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya (perizinannya) secara tidak bebas. Jadi, perjanjian yang telah dibuat itu akan terus mengikat kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian, selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tersebut.
Sedangkan apabila syarat obyektif yang tidak terpenuhi, maka perjanjian itu akan batal demi hukum. Artinya sejak semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan.
Ada 4 akibat yang dapat terjadi jika salah satu pihak melakukan wan prestasi yaitu:
1.      Membayar kerugian yang diderita oleh pihak lain berupa ganti-rugi
2.      Dilakukan pembatalan perjanjian
3.      Peralihan resiko
4.      Membayar biaya perkara jika sampai berperkara dimuka hakim

Mencari pengakuan akan kelalaian atau wan prestasi tidaklah mudah. Sehingga apabila yang bersangkutan menyangkal telah dilakukannya wan prestasi dapat dilakukan pembuktian di depan pengadilan. Sebelum kita melangkah pada proses pembuktian di pengadilan, terdapat langkah-langkah yang dapat kita tempuh yaitu dengan membuat surat peringatan atau teguran, yang biasa dikenal dengan istilah SOMASI.

Pedoman penting dalam menafsirkan suatu perjanjian:
1.      Jika kata-kata dalam perjanjian jelas, maka tidak diperkenankan menyimpangkan dengan penafsiran.
2.      Jika mengandung banyak penafsiran, maka harus diselidiki maksud perjanjian oleh kedua pihak, dari pada memegang teguh arti katakata.
3.      Jika janji berisi dua pengertian, maka harus dipilih pengertian yang memungkinkan janji dilaksanakan
4.      Jika kata-kata mengandung dua pengertian, maka dipilih pengertian yang selaras dengan sifat perjanjian
5.      Apa yang meragukan, harus ditafsirkan menurut apa yang menjadi kebiasaan.
6.      Tiap janji harus ditafsirkan dalam rangka perjanjian seluruhnya yang dapat terjadi jika suatu perjanjian tidak memenuhi syarat di atas.

Bentuk Perjanjian
1.      Lisan
2.      Tulisan:
a.       Dibawah tangan/ orderhands
b.      Otentik
Sumber:
lista.staff.gunadarma.ac.id

Hukum Dagang
Hubungan Hukum Perdata Dengan Hukum Dagang
Berdasarkan Pasal 1 dan Pasal 15 KUHD dapat diketahui kedudukan KUH Dagang terhadap KUH Perdata. Pengertiannya, KUH dagang merupakan hukum yang khusus (lex specialis), sedangkan KUH Perdata merupakan hukum yang bersifat umum (lex generalis), sehingga berlaku suatu asas “lex specialis derogat legi genelari”, artinya hukum yang khusus dapat mengesampingkan hukum yang umum.

Berlakunya Hukum Dagang
Sebelum tahun 1938 Hukum Dagang hanya mengikat kepada para pedagang saja yang melakukan usaha dagang. Kemudian, sejak tahun 1938 pengertian perbuatan dagang menajdi lebih luas dan dirubah menjadi perbuatan perusahaan yang mengandung arti menjadi lebih luas, sehingga berlaku bagi setiap pengusaha (perusahaan).
Ada beberapa pendapat yang dapat diambil kesimpulan bahwa seseorang baru dapat dikatakan menjalankan perusahaan jika telah memenuhi unsur-unsur, seperti berikut:
1.      Terang-terangan.
2.      Teratur.
3.      Bertujuan untuk memperoleh keuntungan materi.

Suatu perusahaan yang dijalankan dapat berbentuk sebagai berikut:
1.      Ia seorang diri saja.
2.      Ia sendiri dan dibantu oleh para pembantu.
3.      Orang lain yang mengelola dengan pembantu-pembantu.

Hubungan Pengusaha dan Pembantu-Pembantunya
Di dalam menjalankan kegiatan suatu perusahaan tidak mungkin melakukan usahanya seorang diri. Oleh karena itu, diperlukan bantuan orang/pihak lain untuk membantu melakukan kegiatan-kegiatan tersebut.

Pembantu-pembantu dalam perusahaan dapat dibagi menjadi dua fungsi:
1.      Pembantu di dalam perusahaan.
Bersifat sub ordinasi, yaitu hubungan atas dan bawah sehingga berlaku suatu perjanjian perburuhan.
2.      Pembantu di luar perusahaan.
bersifat koordinasi, yaitu hubungan yang sejajar, sehingga berlaku suatu perjanjan pemberian kuasa yang akan memperoleh upah.

Pengusaha dan Kewajibannya
Menurut undang-undang, ada dua macam kewajiban pengusaha:
1.      Membuat pembukuan.
Mewajibkan setiap orang yang menjalankan perusahaan supaya membuat catatan atau pembukuan mengenai kekayaan dan semua hal yang berkaitan dengan perusahaan agar dapat diketahui hak dan kewajiban para pihak.
2.      Mendaftarkan perusahaannya.
Setiap orang atau badan yang menjalankan perusahaan menurut hukum wajib melakukan pendaftaran tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan usahanya.



for me

i'm a girl who dreamer, muslim,using headdress (hijab),i love allah, and one of the most important for my live are my parents and fams. i love them well so much, and hope you enjoy with this site ,thank you for visit my blog :)
Thank You