Hukum
Perdata
Pengertian Hukum
Perdata
Hukum
perdata adalah salah satu bidang hukum yang paling populer. Hukum perdata
merupakan induk dari beberapa bidang ilmu hukum lainnya, seperti hukum dagang,
hukum perikatan, hukum perusahaan, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Bidang-bidang kajian ilmu hukum tersebut menginduk pada hukum perdata yang
terutama bersumber pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Dengan
demikian, hukum perdata memiliki ranah kajian yang sangat luas terutama bila
dibandingkan dengan bidang kajian ilmu hukum lainnya yang menginduk pada hukum
perdata itu sendiri.
Alasan
adanya Hukum Perdata
Hukum Perdata merupakan induk dari
segala hukum. Hukum perdata adalah awal dari lahirnya hukum-hukum lain di
Indonesia ini. Hukum perdata ada karena hukum perdata memiliki asas-asanya,
yaitu:
1.
Asas kebebasan berkontrak
2.
Asas Konsesualisme,
3.
Asas Kepercayaan,
4.
Asas Kekuatan Mengikat,
5.
Asas Persamaan hukum,
6.
Asas Keseimbangan,
7.
Asas Kepastian Hukum,
8.
Asas Moral Asas PerlindunganAsas
Kepatutan,
9.
Asas Kepribadian (Personality),
10. Asas
Itikad Baik (Good Faith)
Asas-asas diatas membentuk Hukum Perdata
menjadi induk dari semua hukum di Indonesia. Hukum perdata juga bersumber dari:
1. BW
(KUHPerdata)
2. Wvk
(KUHD)
3. UU
No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
4. UU
No.4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
5. UU
No. 42 Tahun 1999 tentang Fidusia
6. UU
Perbankan, UU PT, dll.
Macam-Macam
Hukum Perdata
1. Hukum
Perkawinan
Pertalian yang sah antara seorang lelaki
dan seorang perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia. Menurut UU NO.1 Tahun 1974, perkawinan adalah
ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan seorang wanita sebagai suami
istri yang bertujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.
Perkawinan dikatakan sah apabila:
-
Dilakukan berdasarkan hukum agamanya dan
kepercayaannya.
-
Perkawinan didasarkan atas persetujuan
kedua mempelai.
-
Yang laki laki min berumur 19 tahun
sedang yang perempuan min berumur 16 tahun.
-
Bagi yang berumur kurang dari 21 tahun
harus memiliki izin dari kedua orang tua/wali.
Dalam Hukum Perkawinan juga memiliki
aturan , yaitu syarat untuk perkawinan, pembatalan perkawinan, hak dan
kewajiban suami istri, pencampuran kekayaan, perjanjian perkawinan, perceraian,
pemisahaan kekayaan.
2. Hukum
Waris
Hukum Waris adalah suatu hukum yang
mengatur peninggalan harta seseorang yang telah meninggal dunia diberikan
kepada yang berhak, seperti keluarga dan masyarakat yang lebih berhak. Hukum
Waris yang berlaku di Indonesia ada tiga yakni: Hukum Waris Adat, Hukum Waris
Islam dan Hukum Waris Perdata. Setiap daerah memiliki hukum yang berbeda-beda
sesuai dengan sistem kekerababatan yang mereka anut.
3. Hukum
Kekeluargaan
Termasuk di dalam hukum perdata yang
mengatur perihal hubungan-hubungan hukum yang timbul dari hubungan
kekeluargaan, yaitu: perkawinan beserta hubungan dalam lapangan hukum kekayaan
antara suami-isteri, hubungan antara orang tua dan anak. Hukum
Kekeluargaan mengatur tentang keturunan, kekuasaan orang tua, perwalian,
pendewasaan, curatele, orang hilang.
Hukum
Perikatan
Pengertian
Perikatan
adalah adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua
orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain
berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan
suatu akibat hukum, akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum
lain yang menimbulkan perikatan.
Dari
rumusan ini dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam bidang hukum
harta kekayaan (law of property), juga terdapat dalam bidang hukum
keluarga (family law), dalam bidang hukum waris (law of
succession) serta dalam bidang hukum pribadi(pers onal law).
Dasar Hukum Perikatan
Dasar hukum perikatan berdasarkan
KUHP terdapat tiga sumber yaitu:
1.
Perikatan yang timbul dari persetujuan (perjanjian).
2. Perikatan
yang timbul undang-undang. Hal ini tergambar dalam Pasal 1352 KUH Perdata:
”Perikatan yang dilahirkan dari undang-undang, timbul dari undang-undang saja
atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang.
a. Perikatan
terjadi karena undang-undang semata yaitu yang ada dalam pasal 104 KUH Perdata
mengenai kewajiban alimentasi antara orang tua dan anak dan yang lain dalam
pasal 625 KUH Perdata mengenai hukum tetangga yaitu hak dan kewajiban
pemilik-pemilik pekarangan yang berdampingan.
b.
Perikatan terjadi karena undang-undang akibat
perbuatan manusia
3.
Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi
karena perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan perwakilan sukarela
( zaakwarneming).
Tentang
Perikatan
Dalam Ps 1233 KUHS ditetapkan
bahwa Perikatan dilahirkan baik karena UU dan karena Persetujuan.
Perikatan yang timbul karena UU :
1.
Perikatan yang lahir dari UU saja
Alimentasi (Ps 231 KUHS), yaitu
kewajiban setiap anak untuk memberikan nafkah hidup kepada orang tuanya dan
para keluarga sedarah dalam garis keatas apabila mereka dalam keadaan miskin.
2.
Perikatan yang lahir dari UU karebna perbuatan orang
yang diperbolehkan maupun karena perbuatan orang yang melanggar hukum.
Zaakwaarneming (Ps 1354 KUHS)
perbuatan orang yang dilakukan dengan sukarela tanpa diminta tanpa disuruh,
memelihara kepentingan atau barang orang lain. Maka timbul hubungan hukum
antara pemilik barang dengan pemelihara barang.
Perikatan yang timbul karena
Persetujuaan atau Perjanjian :
1. Perikatan
alamiah, perikatan yang harus dilaksanakan tetapi tidak disertai dengan sanksi
gugatan, kalau debitur tidak memenuhi kewajibannya.
2. Perikatan
karena perbuatan yang melanggar hukum, seperti yang dimaksud dengan Ps 1365
KUHS dan Drukkearrest HR tanggal 31 Januari 1919, yang terdiri dari :
a.
Perbuatan yang melanggar hak orang lain.
b.
Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum
dari orang yang bersangkutan.
c. Perbuatan
yang bertentangan dengan kesusilaan atau asas-asas pergaulan kemasyarakatan
mengenai nama baik atau barang orang lain.
Macam-Macam Ganti Rugi
a. Kosten,
yaitu segala biaya dan ongkos yang sungguh-sungguh telah dikeluarkan oleh
korban.
b. Schade,
yaitu kerugian yang diderita oleh si korban sebagai akibat langsung dari
perbuatan yang melanggar hukum itu.
c. Interessen,
yaitu bunga uang dari keuntungan yang tidak jadi diterima sebagai akibat
langsung dari perbuatan yang melanggar hukum itu.
Syarat yang harus dipenuhi untuk menuntut ganti rugi :
a. Perbuatan
atau sikap diam harus melanggar hukum, ada peraturan hukum yang dilanggar oleh
perbuatan atau sikap diam dari orang yang bersangkutan.
b. Harus ada
kerugian (Schade) antara perbuatan dan kerugian harus ada hubungan sebab
akibat, penggantia kerugian hanya dapat diminta oleh orang yang menderita
kerugian dan harus dapat membuktikannya.
Harus ada kesalahan orang atau si
pelaku haris dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya dan kesalahan yang
dilakukan itu bukanlah keadaan terpaksa, keadaan darurat, kesalahan itu karena
kesengajaan dan kelalaian
Asas-Asas Hukum Perikatan
Azas azas hukum perikatan diatur
dalam Buku III KUH Perdata, yakni :
1. Asas
Kebebasan Berkontrak
Asas
kebebasan berkontrak terlihat di dalam Pasal 1338 KUHP Perdata yang menyebutkan
bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang
membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
2. Asas
konsensualisme
Asas
konsensualisme, artinya bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata
sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan
sesuatu formalitas. Dengan demikian, azas konsensualisme lazim disimpulkan
dalam Pasal 1320 KUHP Perdata.
Hapusnya Perikatan menurut pasal
1381:
1.
Pembayaran
2.
Penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan
penyimpanan atau penitipan
3.
Pembaharuan utang
4.
Perjumpaan utang atau kompensasi
5.
Percampuran utang
6.
Pembebasan utang
7.
Musnahnya barang yang terutang
8.
Kebatalan atau pembatalan
9.
Berlakunya suatu syarat batal
10.
Lewatnya waktu.
Sumber:
Hukum Perjanjian
Pengertian
Dilihat dari pengertian yang terdapat
dalam Pasal 1313 KUHPerdata, Perjanjian adalah suatu perbuatan di mana satu
orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau
lebih.Pengertian ini mengundang kritik dari banyak ahli hukum, karena menimbulkan
penafsiran bahwa perjanjian tersebut yang bersifat sepihak, padahal dalam
perjanjian harus terdapat interaksi aktif yang bersifat timbal balik di kedua
belah pihak untuk melaksanakan hak dan kewajiban masing-masing. Untuk itu
secara sederhana perjanjian dapat dirumuskan sebagai sebuah perbuatan dimana
kedua belah pihak sepakat untuk saling mengikatkan diri satu sama lain.
Pengertian
perjanjian ini mengandung unsur :
a.
Perbuatan,
Penggunaan
kata “Perbuatan” pada perumusan tentang Perjanjian ini lebih tepat jika diganti
dengan kata perbuatan hukum atau tindakan hukum, karena perbuatan
tersebut membawa akibat hukum bagi para pihak yang memperjanjikan
b.
Satu orang atau lebih terhadap satu
orang lain atau lebih, Untuk adanya suatu perjanjian, paling sedikit harus ada
dua pihak yang saling berhadap-hadapan dan saling memberikan pernyataan yang
cocok/pas satu sama lain. Pihak tersebut adalah orang atau badan hukum.
c. Mengikatkan
dirinya,
Di
dalam perjanjian terdapat unsur janji yang diberikan oleh pihak yang satu kepada
pihak yang lain. Dalam perjanjian ini orang terikat kepada akibat hukum yang
muncul karena kehendaknya sendiri.
Azas-Azas
Hukum Perjanjian
Ada beberapa azas yang dapat ditemukan
dalam Hukum Perjanjian, namun ada dua diantaranya yang merupakan azas terpenting
dan karenanya perlu untuk diketahui, yaitu:
1. Azas
Konsensualitas, yaitu bahwa suatu perjanjian dan perikatan yang timbul telah
lahir sejak detik tercapainya kesepakatan, selama para pihak dalam perjanjian
tidak menentukan lain. Azas ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata
mengenai syarat-syarat sahnya perjanjian.
2. Azas
Kebebasan Berkontrak, yaitu bahwa para pihak dalam suatu perjanjian bebas untuk
menentukan materi/isi dari perjanjian sepanjang tidak bertentangan dengan
ketertiban umum, kesusilaan dan kepatutan. Azas ini tercermin jelas dalam
Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat
secara sah mengikat sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Syarat
Sahnya Perjanjian
Agar
suatu Perjanjian dapat menjadi sah dan mengikat para pihak, perjanjian harus
memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1320 BW yaitu :
1.
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya:
Kata “sepakat” tidak
boleh disebabkan adanya kekhilafan mengenai hakekat barang yang menjadi pokok
persetujuan atau kekhilafan mengenai diri pihak lawannya dalam persetujuan yang
dibuat terutama mengingat dirinya orang tersebut; adanya paksaan dimana
seseorang melakukan perbuatan karena takut ancaman (Pasal 1324 BW); adanya
penipuan yang tidak hanya mengenai kebohongan tetapi juga adanya tipu muslihat
(Pasal 1328 BW). Terhadap perjanjian yang dibuat atas dasar “sepakat”
berdasarkan alasan-alasan tersebut, dapat diajukan pembatalan.
2. cakap
untuk membuat perikatan:
Para
pihak mampu membuat suatu perjanjian. Pasal 1330 BW menentukan yang tidak cakap
untuk membuat perikatan :
a. Orang-orang
yang belum dewasa
b. Mereka
yang ditaruh dibawah pengampuan
c. Orang-orang
perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undangundang,
dan
pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat
perjanjian-perjanjian tertentu. Namun berdasarkan fatwa Mahkamah Agung, melalui
Surat Edaran Mahkamah Agung No.3/1963 tanggal 5 September 1963, orang-orang
perempuan tidak lagi digolongkan sebagai yang tidak cakap. Mereka berwenang
melakukan perbuatan hukum tanpa bantuan atau izin suaminya. Akibat dari
perjanjian yang dibuat oleh pihak yang tidak cakap adalah batal demi hukum
(Pasal 1446 BW).
3.
suatu hal tertentu:
Perjanjian
harus menentukan jenis objek yang diperjanjikan. Jika tidak, maka perjanjian
itu batal demi hukum. Pasal 1332 BW menentukan hanya barang-barang yang dapat
diperdagangkan yang dapat menjadi obyek perjanjian, dan berdasarkan Pasal 1334
BW barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari dapat menjadi obyek
perjanjian kecuali jika dilarang oleh undang-undang secara tegas.
4.
suatu sebab atau causa yang halal:
Sahnya
causa dari suatu persetujuan ditentukan pada saat perjanjian dibuat. Perjanjian
tanpa causa yang halal adalah batal demi hukum, kecuali ditentukan lain oleh
undang-undang.
Syarat No.1 dan No.2 disebut
dengan Syarat Subyektif, karena mengenai orang-orangnya atau subyeknya
yang mengadakan perjanjian, sedangkan syarat No.3 dan No.4
disebut Syarat Obyektif, karena mengenai obyek dari suatu perjanjian.
Apabila syarat subyektif tidak dapat
terpenuhi, maka salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian
itu dibatalkan. Pihak yang dapat meminta pembatalan itu, adalah pihak yang
tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya (perizinannya) secara tidak
bebas. Jadi, perjanjian yang telah dibuat itu akan terus mengikat kedua belah
pihak yang mengadakan perjanjian, selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas
permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tersebut.
Sedangkan apabila syarat obyektif yang
tidak terpenuhi, maka perjanjian itu akan batal demi hukum. Artinya sejak
semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu
perikatan.
Ada
4 akibat yang dapat terjadi jika salah satu pihak melakukan wan prestasi yaitu:
1. Membayar
kerugian yang diderita oleh pihak lain berupa ganti-rugi
2. Dilakukan
pembatalan perjanjian
3. Peralihan
resiko
4. Membayar
biaya perkara jika sampai berperkara dimuka hakim
Mencari
pengakuan akan kelalaian atau wan prestasi tidaklah mudah. Sehingga apabila
yang bersangkutan menyangkal telah dilakukannya wan prestasi dapat dilakukan
pembuktian di depan pengadilan. Sebelum kita melangkah pada proses pembuktian
di pengadilan, terdapat langkah-langkah yang dapat kita tempuh yaitu dengan
membuat surat peringatan atau teguran, yang biasa dikenal dengan istilah
SOMASI.
Pedoman
penting dalam menafsirkan suatu perjanjian:
1.
Jika kata-kata dalam perjanjian jelas,
maka tidak diperkenankan menyimpangkan dengan penafsiran.
2.
Jika mengandung banyak penafsiran, maka
harus diselidiki maksud perjanjian oleh kedua pihak, dari pada memegang teguh
arti katakata.
3.
Jika janji berisi dua pengertian, maka
harus dipilih pengertian yang memungkinkan janji dilaksanakan
4.
Jika kata-kata mengandung dua
pengertian, maka dipilih pengertian yang selaras dengan sifat perjanjian
5.
Apa yang meragukan, harus ditafsirkan
menurut apa yang menjadi kebiasaan.
6.
Tiap janji harus ditafsirkan dalam
rangka perjanjian seluruhnya yang dapat terjadi jika suatu perjanjian tidak
memenuhi syarat di atas.
Bentuk
Perjanjian
1. Lisan
2. Tulisan:
a. Dibawah
tangan/ orderhands
b. Otentik
Sumber:
lista.staff.gunadarma.ac.id
Hukum Dagang
Hubungan
Hukum Perdata Dengan Hukum Dagang
Berdasarkan Pasal 1 dan Pasal 15 KUHD
dapat diketahui kedudukan KUH Dagang terhadap KUH Perdata. Pengertiannya, KUH
dagang merupakan hukum yang khusus (lex specialis), sedangkan KUH Perdata
merupakan hukum yang bersifat umum (lex generalis), sehingga berlaku suatu asas
“lex specialis derogat legi genelari”, artinya hukum yang khusus dapat mengesampingkan
hukum yang umum.
Berlakunya
Hukum Dagang
Sebelum tahun 1938 Hukum Dagang hanya
mengikat kepada para pedagang saja yang melakukan usaha dagang. Kemudian, sejak
tahun 1938 pengertian perbuatan dagang menajdi lebih luas dan dirubah menjadi
perbuatan perusahaan yang mengandung arti menjadi lebih luas, sehingga berlaku
bagi setiap pengusaha (perusahaan).
Ada beberapa pendapat yang dapat diambil
kesimpulan bahwa seseorang baru dapat dikatakan menjalankan perusahaan jika
telah memenuhi unsur-unsur, seperti berikut:
1. Terang-terangan.
2. Teratur.
3. Bertujuan
untuk memperoleh keuntungan materi.
Suatu perusahaan yang dijalankan dapat
berbentuk sebagai berikut:
1. Ia
seorang diri saja.
2. Ia
sendiri dan dibantu oleh para pembantu.
3. Orang
lain yang mengelola dengan pembantu-pembantu.
Hubungan
Pengusaha dan Pembantu-Pembantunya
Di dalam menjalankan kegiatan suatu
perusahaan tidak mungkin melakukan usahanya seorang diri. Oleh karena itu,
diperlukan bantuan orang/pihak lain untuk membantu melakukan kegiatan-kegiatan
tersebut.
Pembantu-pembantu dalam perusahaan dapat
dibagi menjadi dua fungsi:
1. Pembantu
di dalam perusahaan.
Bersifat sub ordinasi, yaitu hubungan atas
dan bawah sehingga berlaku suatu perjanjian perburuhan.
2. Pembantu
di luar perusahaan.
bersifat koordinasi, yaitu hubungan yang
sejajar, sehingga berlaku suatu perjanjan pemberian kuasa yang akan memperoleh
upah.
Pengusaha
dan Kewajibannya
Menurut undang-undang, ada dua macam
kewajiban pengusaha:
1. Membuat
pembukuan.
Mewajibkan setiap orang yang menjalankan
perusahaan supaya membuat catatan atau pembukuan mengenai kekayaan dan semua
hal yang berkaitan dengan perusahaan agar dapat diketahui hak dan kewajiban
para pihak.
2. Mendaftarkan
perusahaannya.
Setiap orang atau badan yang menjalankan
perusahaan menurut hukum wajib melakukan pendaftaran tentang segala sesuatu
yang berkaitan dengan usahanya.